Rabu, 06 Juni 2012

SID Archieve

Di balik rambut- rambut yang menantang langit, di balik dandanan yang urakan, mereka juga menyimpan sebuah kedamaian. Dan yang lebih menarik lagi, Indonesia ternyata jadi bagian penting dari komunitas punk.

Douglas Crawford, seorang sutradara film dari Kanada mencoba menggambarkan kehidupan anak-anak punk dalam sebuah film berjudul The Punks Are Allright. Film ini termasuk salah satu film yang diputar di Jakarta International Film Festival (Jiffest) 2005. Jangan berharap film ini menghamburkan cerita tentang punk dan konser-konser musik.


Tapi kita akan banyak diberi gambaran tentang kehidupan sosial, dan bagaimana anak-anak punk itu berbaur dengan masyarakat lain. Yang bikin film ini makin menarik, karena Indonesia jadi bagian penting dalam film ini.

Bisa nyambung

Pada awalnya Douglas hanya ingin membuat film dokumenter tentang band punk asal Kanada, Forgotten Rebels. Hingga dalam perjalanannya, Douglas mendapatkan e-mail dari band asal Brasil, Blind Pigs. E-mail itu bercerita betapa Blind Pigs sangat terinspirasi oleh Forgotten Rebels. Itu yang kemudian membuat Douglas terbang ke Brasil, dan tinggal selama dua bulan di sana untuk melanjutkan filmnya.

Di Brasil, Douglas kembali menemukan sebuah kejutan. Itu pertama kalinya aku tahu ada punk scene di Indonesia, Douglas mengungkapkan responsnya ketika front mant Blind Pigs mengatakan bahwa mereka mendapat surat dari fans mereka di Indonesia. Itulah yang membuat Douglas terbang ke Jakarta menemui Dolly, yang berhubungan dengan Blind Pigs. Dolly, tidak bisa mendapatkan CD Blind Pigs di Indonesia, dan meminta mereka untuk mengirimkannya lewat internet.

Dengan girang Blind Pigs mengabulkan permintaan Dolly. Dan sebagai gantinya, Dolly mengirimkan badge bertuliskan Blind Pigs.

Punk & family

Film The Punks Are Allright bukan hanya menggambarkan hubungan band dengan fans. Douglas berusaha menggambarkan dengan jelas kondisi kehidupan mereka yang ada di Kanada, Brasil, dan Indonesia. Di sini kita bisa melihat banyak kesamaan antara Brasil dan Indonesia, negara yang disebutnya sebagai negara dunia ketiga.

Tergambar di film ini, lingkungan tempat tinggal Henrike dan Dolly, hanya berbeda di masalah rapi dan bersih. Sebenarnya secara tingkat pendidikan dan lainnya tidak jauh berbeda. Sempat juga terlihat remaja-remaja Brasil yang tidak menguasai bahasa Inggris. Atau kalau acara TV kita sekarang ini dipenuhi oleh berita-berita kriminal, di Brasil ternyata kondisinya juga cukup mengerikan. Puluhan pembunuhan bisa terjadi setiap harinya. Cewek-cewek di sana cantik-cantik, tapi mereka bisa jadi sangat berbahaya, ujar Douglas bersungguh-sungguh.

Kesamaan lain antara dua negara ini adalah perilaku sehari- hari. Di mana unsur religius dan keluarga sangat berpengaruh. Bakalan lebih jelas sih kalau melihat filmnya, di mana seorang anak muda dengan tato Born To Die sedang membantu orang- tuanya di sawah. Sedangkan Henrike digambarkan tengah menghabiskan akhir pekan bersama keluarganya.

Cocok di Indonesia

Gambaran kekeluargaan yang ditampilkan Douglas di film itu mungkin bisa menepis anggapan tentang anak-anak punk yang mengerikan dan dekat dengan hal-hal negatif. Karena pada dasarnya pemikiran punk memang tidaklah semengerikan itu. Intinya mereka hanya ingin hidup lebih bebas. Makanya lirik- lirik lagu mereka menjadi lebih berani. Baik menyinggung masalah politik maupun isu-isu sosial yang sedang terjadi. Sama seperti pemikiran orang kebanyakan, punk juga berharap untuk mencapai hidup yang lebih baik. Tentu saja dengan versi mereka sendiri, yang kadang identik dengan pemberontakan.

Dan lirik-lirik dari tiga band punk itu pun punya kesamaan. Yaitu bisa menyentuh dan memengaruhi hati banyak orang. Bahkan menempuh jarak yang cukup jauh.

Menurut pendapat si pembuat film ini, punk terlihat lebih cocok untuk Brasil dan Indonesia ketimbang Kanada. Di Kanada, orang justru sudah terlalu acuh, dan asyik dengan dunia masing-masing. Dan mungkin juga tingkat ekonomi yang lebih baik, yang membuat punk tidak cocok dijalankan di sana.

Untuk menggambarkan Indonesia, Douglas sempat mengikuti band Superman Is Dead yang konser di Kalimantan. Dan membuatnya cukup terkejut saat melihat sekitar 20.000 orang memadati stadion. Sampai akhirnya Douglas berkesimpulan bahwa dari tiga band yang tampil di filmnya, justru band Indonesia inilah yang paling besar.

Dari yang digambarkan di film The Punks Are Allright, kita bisa melihat kalau punk bukanlah sekadar segerombolan anak-anak badung yang enggak ada kerjaan. Sayangnya, kita tidak hidup sendirian di dunia ini, dan tidak semua orang bisa menerima gaya hidup punk. Sama seperti tidak semua orang tertawa saat melihat Paul Anka serius menyanyikan Black Hole Sun-nya Soundgarden. Dan Tidak semua orang muntah saat mendengarkan nomor berikutnya, It's a Sin!

Bahkan di lingkungan anak-anak punk sendiri tidak semuanya identik, tetap ada saja perbedaan. Tidak semua orang menjadi gagah dengan rambut mohawk dan sepatu boot. Makanya tidak semua punk berambut mohawk dan bersepatu boots.

Tidak semua anak punk berlaku liar, bahkan banyak di antara mereka adalah pekerja keras. Kalau saja semua orang menjalani hidup dengan benar, semua memang akan menjadi lebih baik. Dengan nada pembelaan pada punk, drumer SID, Jerinx, mengatakan, If all the peoples in the world are punk, world is gonna be allright. Mungkin tidak terlalu benar, tapi tidak ada yang salah juga dengan kata-kata itu.

So, Lets do it then be a real punk!
Taken from : http://www.kompas.com/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar