Demi menghormati tuan rumah, saya memesan bir ketika waitress
Twice Bar, Kuta, bertanya minuman apa yang saya mau. Pemilik bar ini
adalah I Gede Ari Astina, frontman dan tukang gebuk drum Superman is
Dead (SID) yang lebih akrab dengan panggilan Jerinx. Memisahkan SID
dengan bir, ibarat memisahkan hujan dan mendung, sesuatu yang sangat
jarang terjadi.
Setidaknya begitulah stereotipe pada SID: beer, glam, tato, punk. Maka
demi menghormati mereka, saya pesan bir, bukan es teh, es jeruk, atau
jus sore itu sambil menunggu SID selesai latihan di studio mereka,
akhir Januari lalu.
Sekitar 15 menit kemudian, usai latihan, personel SID naik ke lantai
dua, tempat di mana saya menunggu bersama Dodix, manajer SID, dan Yenny
dari manajemen SID. Seorang perempuan yang mengaku sebagai Lady Rose
juga ada di sana. Vokalis sekaligus gitaris SID I Made Putra Budi
Sartika (Bobby Kool) serta bassist merangkap vokalis latar I Made Eka
Arsana (Eka Rock) datang. Jerinx menyusul kemudian.
Sore itu tak ada pengunjung lain di bar di Poppies II, gang salah satu
cikal bakal pariwisata di Kuta, bahkan Bali, sehingga menjadi gemerlap
seperti saat ini. Jerinx mengajak kami duduk di pojok bar berdinding
motif kotak-kotak hitam putih dan poster-poster vintage itu. Ini bukan
pertemuan pertama saya dengan mereka. Tapi ini pertama kalinya saya
main dan bertemu mereka di Twice Bar, tempat SID sering berkumpul,
latihan atau bikin acara dengan para penggemarnya.
Bukannya memesan bir, Eka dan Bobby malah “cuma” pesan minuman a la
anak kos, teh dan jeruk manis hangat. Mereka tak meminum bir sama
sekali di antara obrolan kami selama hampir tiga jam tersebut, tidak
juga bagi Jerinx yang secara fisik terlihat paling rebel dengan
tato di seluruh tubuhnya. Sejujurnya, sebelum bertemu, saya sudah
berasumsi obrolan itu akan dipenuhi bir atau rokok tanpa henti. Ternyata
tidak juga. Selama wawancara, Eka, Bobby, maupun Jerinx sama sekali
tak minum bir, hal yang sering mereka perlihatkan saat di atas
panggung.
SID dikenal sebagai bad boy atau malah rebel. Dengan
musik punk, badan penuh tato, serta lirik-lirik lagu penuh kritik
sosial, SID mudah diidentikkan sebagai rebel. Paling tidak mantan
manajer SID Rudolf Dethu menyebut begitu. Karena citra rebel
ini, mereka bisa menjadi salah satu band dengan jumlah penggemar
terbesar di Indonesia. “Mungkin anak-anak sekarang menemukan sosok bad boy pada SID setelah era Slank. Makanya SID punya jutaan penggemar sekarang,” kata Dethu.
Besarnya pengaruh SID dibuktikan dengan masuknya mereka dalam Billboard
Uncharted di urutan ke-23 hingga Februari lalu. Di situsnya, Billboard
menyatakan bahwa Uncharted ini merupakan daftar musisi baru ataupun
berkembang yang belum masuk di Billboard Chart, tanpa mempertimbangkan
asal negara musisi. Uncharted didasarkan pada penampilan musisi di media
online termasuk jejaring sosial, seperti MySpace, Facebook, Twitter,
Last.fm, iLike, Wikipedia, dan seterusnya.
Daftar ini memang bukan peringkat mingguan yang biasa mereka keluarkan
sebagai paramater musisi, band maupun penyanyi, dengan tingkat
penjualan album tertinggi di Amerika Serikat. SID adalah band Indonesia
pertama yang masuk peringkat ini. “Kami tidak terlalu kepikiran akan
masuk sana. Billboard jauh dari lirik lagu SID. Kalau masuk Grammy sih
ingin,” kata Jerinx.
Informasi masuknya SID dalam Billboard Uncharted ini mereka peroleh dua
minggu sebelum kami bertemu untuk artikel ini. Pemberitahuan itu
dikirim lewat email oleh Evy Nogy, Editor Billboard. “Mungkin mereka
melihat aktifnya kami dalam penggunaan Facebook untuk fans group. Kami
tidak hanya memberikan informasi tentang band tapi juga ada interaksi
dengan penggemar.
Itu mungkin jadi perhatian Billboard pada kami,” kata Eka. “Prinsipnya, mereka melihat intensity, loyality, and activity
di Facebook. Banyak band lain yang mungkin punya penggemar lebih
banyak tapi kurang aktif dibanding kami. Jadi, penghargaan ini bukan
hanya dari sisi kuantitas tapi juga kualitas,” tambah Jerinx.
SID memang termasuk band yang aktif di jejaring sosial, termasuk
Facebook. Hingga awal Februari lalu, jumlah penggemar Superman is Dead
di Facebook mencapai hampir 1,8 juta orang. Untuk ukuran musisi
Indonesia, jumlah ini adalah yang terbesar. Bandingkan misalnya dengan
Slank yang punya 833 ribu penggemar, ST 12 dengan 808 ribu penggemar,
atau yang paling mendekati adalah Ungu dengan 1,6 juta penggemar.
Namun banyak-nya penggemar juga bisa banyaknya musuh, atau setidaknya
“pengawas”. Sebab, 1,8 juta penggemar di Facebook tidaklah berarti
semua memang penggemar musik dan lirik band punk kelahiran Kuta ini.
“Tidak semua penggemar di Facebook suka SID. Banyak yang ikut di
Facebook hanya untuk melihat hal negatif tentang kami,” kata Jerinx.
Perjalanan SID memang tak bisa dilepaskan dari “musuh”, terutama di
kalangan musisi punk. Mereka menerbitkan tiga album pertamanya secara
indie. Pada tahun 1997, band yang lahir di Kuta ini mengeluarkan album Case 15. Dua tahun kemudian mereka mengeluarkan album sesuai nama band mereka sendiri, Superman is Dead. Album terakhir mereka di jalur indie, Bad, Bad, Bad, terbit pada 2002. Setahun kemudian, mereka dikontrak major label, Sony BMG.
Bersama label ini, hingga saat ini SID telah mengeluarkan empat album, yaitu Kuta Rock City (2003), The Hangover Decade (2005), Black Market Love (2006), dan Angels & the Outsiders (2009).
Karena sejarahnya dekat dengan musik indie, maka ketika akhirnya SID
dikontrak major label, banyak anak punk nyinyir pada mereka.
Tak hanya nyinyir, sebagian anak punk mewujudkan kebencian tersebut
melalui kekerasan pada SID, terutama ketika mereka konser. Di
Singaraja, Bali, mereka pernah dilempari batu ketika konser. Di Medan
dan Yogyakarta, mereka mengalami kekerasan lebih parah yang bahkan
mereka sebut sebagai tindakan barbar. Di Medan, kekerasan terjadi
ketika mereka tampil di Universitas Sumatera Utara (USU) pada 7 Oktober
2003, beberapa saat setelah mereka dikontrak Sony BMG.
Sebelum konser dimulai mereka mengaku sudah mendapatkan atmosfer tak
enak. Ada selebaran anti SID berisi tulisan “Menjadi Rock Star adalah
pilihan. Menjadi Punk Rock Star adalah pengkhianatan.” Aroma kebencian
makin terasa ketika SID tampil. Pada lagu kedua, sebagian penonton
berpakaian street punk mulai mengeluarkan caci maki ke SID dengan sebutan, “Pengkhianat. Pengkhianat!”
Lalu umpatan itu disertai dengan bentuk kekerasan fisik. Botol air
mineral, botol bir, sandal, sepatu, batu, bambu penyangga umbul-umbul,
bahkan monitor melayang ke atas panggung.
Bobby dan Eka yang di depan harus menyanyi sambil menghindari semua
serangan tersebut. Apalagi saat itu sudah malam sehingga
lemparan-lemparan sering tak terlihat. “Mereka yang anti SID ini
sebenarnya sedikit dibanding jumlah penonton. Tapi karena aksinya
berani dan kasar, maka mereka terlihat menonjol,” kata Rudolf Dethu,
manajer SID saat itu.
Masuk lagu keenam, kekerasan itu terus berlanjut. Sampai akhirnya pada
lagu keenam, tiga personel SID memutuskan tidak melanjutkan penampilan.
Mereka berhenti dan lari ke belakang panggung dengan teriakan dan
umpatan yang tidak juga berhenti. Suasana kacau. Bahkan ketika masuk
mobil menuju hotel pun mereka masih dikejar-kejar anak-anak street punk
tersebut.
Kejadian sama terulang lagi ketika mereka tampil di Yogyakarta, persis
sehari setelah tampil di Medan. Mereka dilempari sebagian dari ribuan
penonton yang menonton konser SID di Kota Pelajar itu. Saat itu mereka
tampil di kampus Universitas Pembangunan Nasional (UPN) Veteran
Yogyakarta. Baru pada lagu kedua, sebagian penonton berpakaian street
punk bikin huru-hara. Salah satunya bahkan naik ke panggung setelah
pura-pura pingsan dan dibawa ke belakang panggung lalu berlari memukul
Bobby, vokalis SID. Bobby balik memukul, begitu pula sebagian panitia
dan keamanan konser. “Aku ikut-ikutan menghajarnya. Ha-ha-ha,” kata
Dethu. Karena suasana kacau, ketiga personel SID dibawa ke masjid
kampus UPN agar terhindar dari kekacauan lebih besar.
Kekerasan di Singaraja, Medan, dan Yogyakarta terjadi akibat tuduhan
bahwa SID telah sell out, mengkhianati punk dengan masuk ke major
label. “Mereka yang benci SID karena masuk major label itu karena
indoktrinasi. Mereka punya fanatisme berlebihan terhadap ideologi
tertentu termasuk punk. Mereka sama saja dengan fundamentalis. Mereka
berasumsi semua yang masuk major label itu brengsek. Padahal tidak
juga. Ketika masuk, kami tawar-menawar dulu dengan label. Tapi mereka
[anak punk yang benci SID] tidak tahu proses itu. Mereka pikir kami
melacur dengan kirim demo dan semacamnya. Itu tidak benar. Label yang
cari kami, bukan sebaliknya,” kata Jerinx.
Bobby menimpali, “Orang kalau sudah terindoktrinasi cenderung pakai
kaca mata kuda, melihat kebenaran hanya dari satu sisi.” Mereka
menambahkan sekali lagi, street punk pembenci SID ini sebenarnya
berjumlah sangat sedikit dibanding anak-anak punk lain, yang meski
tidak setuju dengan pilihan SID masuk major label namun tetap menjaga
persaudaraan maupun menikmati konser SID.
SID punya alasan tersendiri kenapa mereka akhirnya masuk major label.
Pertama, lebih menghasilkan dibanding indie label. “Selama delapan
tahun main di indie, kami tidak pernah menikmati hasilnya. Jadi kalau
bisa dapat major label yang tidak membatasi kami dalam bermusik pasti
bagus,” kata Bobby. Mereka bercerita ketika masih di indie, membeli
senar gitar saja susah. Mereka pakai sandal untuk simbal. Pakai pick gitar dengan tutup bungkus sabun colek.
“Biar hemat, kami harus merebus senar gitar yang habis dipakai supaya
senarnya bagus kembali,” tambah Eka. Parahnya lagi, sering sekali mereka
mendapat jawaban klise dari distro yang menjual kaset mereka. “Masak
kalian tidak percaya, sih, sampai menagih terus pada kami,” adalah
jawaban generik yang diberikan tiap kali anak-anak SID menanyakan hasil
penjualan album. Setelah masuk major label, mereka kini menikmati hasil
bermusiknya. Bisa punya studio sendiri. Undangan manggung juga datang
dari mana-mana meski bayaran mereka saat ini antara Rp 40-50 juta.
Mereka menepis tuduhan bahwa mereka melacur. Jika sebagian band
mengemis pada major label agar dikontrak, maka tidak demikian dengan
SID. Menurut Dethu, mereka tidak pernah menawarkan CD demo pada major
label tapi justru sebaliknya, mereka dicari melalui perantara teman.
“Kami berikan CD ke Pak Yan Djuhana [bos Sony BMG] . Lalu beberapa
bulan kemudian dia telepon kami mengajak rekaman. Tentu saja kami
senang. Tapi tawaran ini juga jadi perdebatan kami secara internal
apakah diterima atau tidak,” kata Dethu. Ketakutan Jerinx, Bobby, Eka,
dan Dethu saat itu karena mereka takut dianggap selling out oleh
komunitas punk.
Setelah negosiasi cukup alot, SID lalu sepakat menerima tawaran
tersebut dengan sejumlah syarat, seperti komposisi dan lirik yang
digunakan. Karena terbiasa menggunakan bahasa Inggris, SID meminta agar
semua lagu ditulis dalam bahasa Inggris. Sebaliknya, pihak Sony BMG
justru minta semua dalam bahasa Indonesia. Komprominya kemudian adalah
materi lagu terdiri dari 70 persen bahasa Inggris, 30 persen bahasa
Indonesia. Jadi, dari 14 lagu pada album pertama, empat di antaranya
berbahasa Indonesia, 10 menggunakan bahasa Inggris. “Itu bentuk
kompromi kami dengan major label. Kami justru belajar membuat lirik
bahasa Indonesia setelah kontrak dengan major label. Kalau ada
keterlibatan lain Sony BMG dalam pemilihan lagu, lebih pada urutan lagu
dalam album. Bagi kami, tidak masalah urutannya. Toh semuanya lagu
kami sendiri,” kata Jerinx.
Di bawah salah satu label terbesar di Indonesia, distribusi album
pertama SID bersama Sony BMG langsung naik ratusan kali lipat. Kalau
zaman indie mereka paling banyak bisa jual 400 keping kaset atau
maksimal 1.000 keping, sekarang mereka bisa distribusi album hingga
400.000 copy. Ini alasan kedua kenapa SID mau rekaman di bawah major
label. “Buat apa bikin musik bagus kalau tidak didengar orang lain?
Seidealis apa pun musisinya, pasti dia ingin didengar,” ujar Jerinx.
sumber: http://rollingstone.co.id/read/2011/03/15/131632/1591998/1101/3-rebels-million-outsiders