Jerinx, SID bersama Khalisah Khalid dari Walhi Nasional, kala jumpa pers, Kamis (23/1/14) di Jakarta. Foto: Tumpak W Hutabarat
Halaman Universitas Prof Moestopo (Beragama), di Jakarta, Kamis malam
(23/1/14) dipadati tak kurang 500-an orang. Berdesak-desakan. Mereka
berteriak, dan bernyanyi. Ada apa? Ternyata, malam itu ada panggung
solidaritas “Selamatkan Pesisir Indonesia,” yang digagas Walhi dan
ForBali. Acara ini untuk mengkiritisi obral izin reklamasi di berbagai
daerah, termasuk di Teluk Benoa, Bali.
Tampil antara lain Jerinx Superman Is Dead (SID) &EcoDefender,
Marginal, Didit Saad & Morris Orah, Buguyaga, Made Mawut, dan Choki
Netral.
Acara dibuka dengan talk show tentang reklamasi Teluk Benoa, Bali
maupun daerah pesisir di Indonesia. Setelah itu, dilanjutkan aksi para
musisi. Marginal tampil memukau lewat lagu-lagu bertema sosial,
kemanusiaan dan lekat dengan kritikan seperti Negeri Ngeri, dan Banjir.
Begitupula Jerinx, bersama EcoDefender, tampil dengan beberapa lagu
ditutup Bali Tolak Reklamasi, yang dinyanyikan bersama Choki Netral.
Para penonton ikut bernyanyi bersama.
Lagu Bali Tolak Reklamasi, memang selalu dibawakan dari panggung ke
panggung, aksi ke aksi dalam protes penolakan reklamasi Teluk Benoa di
Bali. Lagu yang dibuat aktivis ForBali, Agung Ali ini gamblang
mengkritik kebijakan pemerintah daerah Bali segera menghentikan rencana
mereklamasi Teluk Benoa.
“Lagu ini diciptakan oleh mereka, dan saya punya ide bagaimana kalau lagu ini kita rekam dan dinyanyikan
rame-rame.
Kita jadikan lagu untuk menolak reklamasi. Kita selalu nyanyikan di
konser-konser, di kampus, bar dimana saja,” kata Jerinx, penabuh drum
grup band SID, saat konferensi pers di Walhi Nasional Jakarta, Kamis
siang (23/1/14).
Pria yang bernama asli I Gede Ari Astina ini mengatakan, sangat vokal
menolak rencana reklamasi Teluk Benoa dengan bernyanyi dan turun aksi
ke jalan. “Selain bikin lagu, bikin video klip, kita juga membuat pasar
mini untuk mengumpulkan dana, dan membuat t-shirt kampanye menolak
reklamasi Teluk Benoa. Jadi kita mengkampanyekan dengan cara populer.”
Cara-cara itu, katanya, ditempuh agar anak muda mengerti dengan
isu-isu ini. Jerinx menyasar anak muda karena generasi tua tak bisa
diharapkan.
“Di Bali, anak muda kental dengan budaya hedon. Mereka selalu dibuai
paradigma hidup itu harus dinikmati, tak usah memperhatikan hal
ribet-ribet, yang penting rajin sembahyang semua akan baik-baik saja,” ucap Jerinx.
Selama ini, Bali selalu “dijajah” banyak kapitalis. Bali dianggap
indah dan mengundang banyak investor. Dalam proses pembangunan itu,
mereka sama sekali tak memperhatikan aspek lingkungan.
Menurut dia, tujuan investor hanya satu: mengeruk sumber daya alam.
Jadi mereka tak mempunyai pemikiran dalam membangun Bali, harus
memperhatikan efek jangka panjang. “Mereka berpikir, Bali ini terkenal
jadi mereka harus membuat sesuatu yang bernilai ekonomi tinggi. Mereka
nggak berpikir efeknya seperti apa.”
Bagi dia, mencuatnya isu reklamasi ini bisa dibilang sebuah pengingat
akan pembangunan-pembangunan di Bali yang “kurang ajar.” Selama ini, di
Bali, sudah terlalu banyak pembangunan tidak ramah lingkungan. Mereka
biasa selalu bisa memuluskan langkah dengan menempuh berbagai cara. Bisa
menyogok atau pun cara lain.
“Reklamasi ini puncak akumulasi kekesalan kami. Jadi kami sebagai
orang Bali, sebagai manusia merasa sudah cukup Bali dan daerah-daerah
lain yang memiliki potensi itu dikuras oleh orang-orang yang mempunyai
uang banyak,” ujar dia.
Aksi Tolak Reklamasi Teluk Benoa dan di berbagai daerah di Indonesia di depan Istana Negara Jakarta. Foto: Sapariah Saturi
Senada dengan Gembul, personel band Navicula. Dia tergerak ikut
bersuara menolak reklamasi Teluk Benoa karena permasalahan lingkungan
sudah menjadi masalah yang harus dihadapi bersama.
“Saya pribadi tergerak sebagai orang Bali juga. Untuk reklamasi ini,
kebetulan saya dan teman-teman di Navicula selalu mengkampanyekan. Kami
banyak bekerjasama dengan LSM. Belakangan banyak jalan bareng bersama
Walhi.”
Dia tak mau anak cucu tidak bisa tinggal di Bali karena kalau
reklamasi dijalankan dipastikan mengubah daerah ini. “Bali sekarang
saja sudah berbeda dengan 20 tahun lalu. Saya ingat 20 tahun lalu masih
bisa melihat keindahan Kuta. Sekarang sudah berkurang.”
Untuk melawan ini, harus begandengan tangan. Saat ini, katanya, bukan
zaman bergerak sendiri. “Jadi apa apa yang bisa kita lakukan, harus
berkolaborasi, semua harus ikut andil. Saya sebagai musisi, bisa
kampanye melalui musik, support dengan apa yang kita bisa. Wartawan,
pelukis, photografer semua elemen bersatu dengan kolaborasi akan menjadi
lebih kuat dan besar,” kata Gembul.
Penolakan rencana reklamasi ini juga datang dari personel band
Netral, Choki. Kata dia, proyek reklamasi ini hanya menguntungkan
kapitalis.
“Menurut
gue pribadi reklamasi ini mikirnya
sih kapital mau mengeruk dan menutup Teluk Benoa. Disitu
kan banyak biota laut dan hutan mangrove. Kalau biota laut mati, tentu kehidupan yang lain juga akan mati.”
Dia mengatakan, warga lokal di sekitar proyek reklamasi akan langsung
terkena imbas. Jika proyek ini tetap dipaksakan, keindahan pula dewata
akan hilang.
“Bali yang kita kenal lima tahun lalu dengan sekarang saja sudah
berbeda. Kalau nanti reklamasi jadi, Bali nanti isinya komplek hotel
doang dong. Kita mau lihat apa disitu?”
Menurut dia, hutan mangrove bisa bermanfaat menjadi ecowisata. “Jadi
kita bisa snorkling atau diving disana. Biota laut berbeda, banyak ikan
dan udang. Daerah mangrove biota berbeda. Mereka itu yang mempertahankan
air. Jadi kita harus menolak reklamasi Teluk Benoa,” katanya.
Nur Hidayati, Kepala Departemen Advokasi dan Kampanye Walhi,
mengatakan, keterlibatan musisi dan para seniman dalam setiap advokasi
penyelamatan lingkungan menandakan isu ini milik semua orang.
“Ini menyangkut soal keberlanjutan kehidupan. Bukan hanya hari ini,
tapi generasi akan datang. Kita lihat saat ini bencana ada dimana-mana.
Ini bukan bencana alam, tapi bencana ekologis,” kata Yaya, sapaan
akrabnya.
Yaya mengatakan, bencana ekologis itu akibat pembangunan tidak
terkontrol dan mengorbankan wilayah konservasi. Sedang masyarakat
miskin selalu menjadi kambing hitam.“Kita ingin mencegah ini tidak
terjadi di Bali. Kalau sampai terjadi, akan menimbulkan kerusakan sangat
masif. Kita lihat di Jakarta. Proyek reklamasi di Pantai Indah Kapuk
menyebabkan banjir sangat besar.”
Menurut dia, dalam memuluskan proyek reklamasi ini, pemerintah dan
pengusaha melakukan konspirasi. Mereka mencari celah agar dari sisi
peraturan seolah-olah legal. “Masyarakat sudah dibohongi. Pemerintah tak
punya itikad baik. Kita tak bisa hanya diam. Tahun 2014 ini momentum
tepat buat kita bergerak.”
Senada diungkapkan Selamet Daroyni, koordinator pendidikan dan
penguatan jaringan Kiara. Dia mengatakan, proyek reklamasi di Indonesia
merupakan bentuk kemudahan bagi para penguasa menguasai lahan-lahan di
pesisir dan memberikan dampak buruk bagi penghidupan nelayan.
“Proyek reklamasi akan makin memperparah kota-kota pesisir karena
kehilangan daya dukung lingkungan yang berakibat pada banjir. Reklamasi
ini perampasan wilayah laut, setelah mereka kesulitan mencari lahan di
darat.”
Tampak Jerinx SID dan Gembul Navicula turut dalam aksi tolak reklamasi Teluk Benoa di Jakarta. Foto: Sapariah Saturi