Minggu, 05 Oktober 2014

Aksi Jerinx Cs Suarakan Tolak Reklamasi Teluk Benoa Lewat Seni

Jerinx, SID bersama Khalisah Khalid dari Walhi Nasional, kala jumpa pers, Kamis (23/1/14) di Jakarta. Foto: Tumpak W Hutabarat
Jerinx, SID bersama Khalisah Khalid dari Walhi Nasional, kala jumpa pers, Kamis (23/1/14) di Jakarta. Foto: Tumpak W Hutabarat
Halaman Universitas Prof Moestopo (Beragama), di Jakarta, Kamis malam (23/1/14) dipadati tak kurang 500-an orang.  Berdesak-desakan. Mereka berteriak, dan bernyanyi. Ada apa? Ternyata, malam itu ada panggung solidaritas “Selamatkan Pesisir Indonesia,” yang digagas Walhi dan ForBali. Acara ini untuk mengkiritisi obral izin reklamasi di berbagai daerah, termasuk di Teluk Benoa, Bali.
Tampil antara lain Jerinx Superman Is Dead (SID) &EcoDefender, Marginal, Didit Saad & Morris Orah, Buguyaga, Made Mawut, dan Choki Netral.
Acara dibuka dengan talk show tentang reklamasi Teluk Benoa, Bali maupun daerah pesisir di Indonesia. Setelah itu, dilanjutkan aksi para musisi. Marginal tampil memukau lewat lagu-lagu bertema sosial, kemanusiaan dan lekat dengan kritikan seperti Negeri Ngeri, dan Banjir. Begitupula Jerinx, bersama EcoDefender, tampil dengan beberapa lagu ditutup Bali Tolak Reklamasi, yang dinyanyikan bersama Choki Netral. Para penonton ikut bernyanyi bersama.
Lagu Bali Tolak Reklamasi, memang selalu dibawakan dari panggung ke panggung, aksi ke aksi dalam protes penolakan reklamasi Teluk Benoa di Bali. Lagu yang dibuat aktivis ForBali, Agung Ali ini gamblang mengkritik kebijakan pemerintah daerah Bali segera menghentikan rencana mereklamasi Teluk Benoa.
“Lagu ini diciptakan oleh mereka, dan saya punya ide bagaimana kalau lagu ini kita rekam dan dinyanyikan rame-rame. Kita jadikan lagu untuk menolak reklamasi. Kita selalu nyanyikan di konser-konser, di kampus, bar dimana saja,”  kata Jerinx,  penabuh drum grup band SID, saat konferensi pers di Walhi Nasional Jakarta, Kamis siang (23/1/14).
Pria yang bernama asli I Gede Ari Astina ini mengatakan, sangat vokal menolak rencana reklamasi Teluk Benoa dengan bernyanyi dan turun aksi ke jalan. “Selain bikin lagu, bikin video klip, kita juga membuat pasar mini untuk mengumpulkan dana, dan membuat t-shirt kampanye menolak reklamasi Teluk Benoa. Jadi kita mengkampanyekan dengan cara populer.”
Cara-cara itu, katanya, ditempuh agar anak muda mengerti dengan isu-isu ini.  Jerinx menyasar anak muda karena generasi tua tak bisa diharapkan.
“Di Bali, anak muda kental dengan budaya hedon. Mereka selalu dibuai paradigma hidup itu harus dinikmati, tak usah memperhatikan hal ribet-ribet, yang penting rajin sembahyang semua akan baik-baik saja,” ucap Jerinx.
Selama ini, Bali  selalu “dijajah” banyak kapitalis. Bali dianggap indah dan mengundang banyak investor. Dalam proses pembangunan itu, mereka sama sekali tak memperhatikan aspek lingkungan.
Menurut dia, tujuan investor hanya satu: mengeruk sumber daya alam. Jadi mereka tak mempunyai pemikiran dalam membangun Bali, harus memperhatikan efek jangka panjang. “Mereka berpikir, Bali ini terkenal jadi mereka harus membuat sesuatu yang bernilai ekonomi tinggi. Mereka nggak berpikir efeknya seperti apa.”
Bagi dia, mencuatnya isu reklamasi ini bisa dibilang sebuah pengingat akan pembangunan-pembangunan di Bali yang “kurang ajar.” Selama ini, di Bali, sudah terlalu banyak pembangunan tidak ramah lingkungan. Mereka biasa selalu bisa memuluskan langkah dengan menempuh berbagai cara. Bisa menyogok atau pun cara lain.
“Reklamasi ini puncak akumulasi kekesalan kami. Jadi kami sebagai orang Bali,  sebagai manusia merasa sudah cukup Bali dan daerah-daerah lain yang memiliki potensi itu dikuras oleh orang-orang yang mempunyai uang banyak,” ujar dia.
Aksi Tolak Reklamasi Teluk Benoa dan di berbagai daerah di Indonesia di depan Istana Negara Jakarta. Foto: Sapariah Saturi
Senada dengan Gembul, personel band Navicula. Dia tergerak ikut bersuara menolak reklamasi Teluk Benoa karena permasalahan lingkungan sudah menjadi masalah yang harus dihadapi bersama.
“Saya pribadi tergerak sebagai orang Bali juga. Untuk reklamasi ini,  kebetulan saya dan teman-teman di Navicula selalu mengkampanyekan. Kami banyak bekerjasama dengan LSM. Belakangan banyak jalan bareng bersama Walhi.”
Dia tak mau anak cucu tidak bisa tinggal di Bali karena kalau reklamasi dijalankan  dipastikan mengubah daerah ini. “Bali sekarang saja sudah berbeda dengan 20 tahun lalu. Saya ingat 20 tahun lalu masih bisa melihat keindahan Kuta. Sekarang sudah berkurang.”
Untuk melawan ini, harus begandengan tangan. Saat ini, katanya, bukan zaman bergerak sendiri. “Jadi apa apa yang bisa kita lakukan, harus berkolaborasi, semua harus ikut andil. Saya sebagai musisi, bisa kampanye melalui musik, support dengan apa yang kita bisa. Wartawan, pelukis, photografer semua elemen bersatu dengan kolaborasi akan menjadi lebih kuat dan besar,” kata Gembul.
Penolakan rencana reklamasi ini juga datang dari personel band Netral, Choki. Kata dia, proyek reklamasi ini hanya menguntungkan kapitalis.
“Menurut gue pribadi reklamasi ini mikirnya sih kapital  mau mengeruk dan menutup Teluk Benoa.  Disitu kan banyak biota laut dan hutan mangrove. Kalau biota laut mati, tentu kehidupan yang lain juga akan mati.”
Dia mengatakan, warga lokal di sekitar proyek reklamasi akan langsung terkena imbas.  Jika proyek ini tetap dipaksakan, keindahan pula dewata akan hilang.
“Bali yang kita kenal lima tahun lalu dengan sekarang saja sudah berbeda. Kalau nanti reklamasi jadi, Bali nanti isinya komplek hotel doang dong. Kita mau lihat apa disitu?”
Menurut dia, hutan mangrove bisa bermanfaat menjadi ecowisata. “Jadi kita bisa snorkling atau diving disana. Biota laut berbeda, banyak ikan dan udang. Daerah mangrove biota berbeda. Mereka itu yang mempertahankan air. Jadi kita harus menolak reklamasi Teluk Benoa,” katanya.
Nur Hidayati, Kepala Departemen Advokasi dan Kampanye Walhi, mengatakan, keterlibatan musisi dan para seniman dalam setiap advokasi penyelamatan lingkungan menandakan isu ini milik semua orang.
“Ini menyangkut soal keberlanjutan kehidupan. Bukan hanya hari ini, tapi generasi akan datang. Kita lihat saat ini bencana ada dimana-mana. Ini bukan bencana alam, tapi bencana ekologis,” kata Yaya, sapaan akrabnya.
Yaya mengatakan, bencana ekologis itu akibat pembangunan tidak terkontrol dan mengorbankan wilayah konservasi.  Sedang masyarakat miskin selalu menjadi kambing hitam.“Kita ingin mencegah ini tidak terjadi di Bali. Kalau sampai terjadi, akan menimbulkan kerusakan sangat masif. Kita lihat di Jakarta. Proyek reklamasi di Pantai Indah Kapuk menyebabkan banjir sangat besar.”
Menurut dia, dalam memuluskan proyek reklamasi ini, pemerintah dan pengusaha melakukan konspirasi. Mereka mencari celah agar dari sisi peraturan seolah-olah legal. “Masyarakat sudah dibohongi. Pemerintah tak punya itikad baik. Kita tak bisa hanya diam. Tahun 2014 ini momentum tepat buat kita bergerak.”
Senada diungkapkan Selamet Daroyni, koordinator pendidikan dan penguatan jaringan Kiara.  Dia mengatakan, proyek reklamasi di Indonesia merupakan bentuk kemudahan bagi para penguasa menguasai lahan-lahan di pesisir dan memberikan dampak buruk bagi penghidupan nelayan.
“Proyek reklamasi akan makin memperparah kota-kota pesisir karena kehilangan daya dukung lingkungan yang berakibat pada banjir. Reklamasi ini perampasan wilayah laut, setelah mereka kesulitan mencari lahan di darat.”
Tampak Jerinx SID dan Gembul Navicula turut dalam aksi tolak reklamasi Teluk Benoa di Jakarta. Foto: Sapariah Saturi
Tampak Jerinx SID dan Gembul Navicula turut dalam aksi tolak reklamasi Teluk Benoa di Jakarta. Foto: Sapariah Saturi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar