“Superman Is Dead (SID) menginspirasi dan mengajarkan kami tentang
indahnya perbedaan dan untuk menghormati keberagaman!” Kurang lebih
itulah pendapat salah seorang penonton yang hadir dalam gig di salah
satu pusat hiburan di bilangan Jakarta Pusat pertengahan Maret lalu.
Pernyataan secara terbuka yang diucapkan dalam sebuah panggung “glam”
peluncuran album baru SID yang bertajuk Angels & the OutSIDers.
Damn! Saya tersentak dengan pernyataan tersebut. Pernyataan yang
sudah sangat lama saya nanti-nantikan tiba-tiba terdengar langsung oleh
telinga saya. Mungkin banyak orang yang akan bertanya-tanya, apa
istimewanya komentar tersebut? Sehingga harus membuat tersentak?
Bukankah pendapat-pendapat seperti itu sudah biasa diucapkan? Lalu apa
yang menjadi luar biasa?
Pertanyaan dan pernyataan seperti itu
seolah-oleh beruntun menerjang kepala saya, seraya berusaha
menjelaskannya. Pendapat seperti itu, tidak akan menjadi luar biasa
apabila disampaikan untuk para pegiat kemanusiaan atau untuk
kelompok-kelompok yang memang aktivitas mereka ada di wilayah perjuangan
pluralisme. Namun tidak demikian apabila ucapan itu didedikasikan untuk
SID.
Dengan latar belakang “glamour”, tampilan ala punker, musik cadas,
dan segala atribut “gaul” yang disandang oleh grup band ini, seolah-olah
mereka adalah tiga “berandal” yang hanya bermusik dan larut dalam
kehidupan glamour. Rambut spiky, rantai bergelantungan di pinggang,
berbusana gaul nan glamour tidaklah cukup menggambarkan ketepatan dari
penyataan di awal tulisan ini. Betapa ketiga pemuda ini jauh dari
kategori kelompok yang peduli dengan keadaan sekitar.
Ditambah lagi tangan yang tiada henti memegang botol minuman
beralkohol, semakin menjauhkan cap pemuda yang mempunyai kepedulian
terhadap kehidupan sosial. Belum lagi bila kita menengok ke belakang
atas perjalanan grup band ini yang sempat dipenuhi dengan tuduhan rasis
dan diskriminatif, menyebabkan SID sempat terpuruk dalam tuduhan-tuduhan
rasis. Tentu saja keadaan ini kerap membuat roh lagu mereka menjadi
hilang dan terkubur dalam “judge” glamour, rasis, dan anti sosial.
Aktivitas-aktivitas mereka untuk kampanye kemanusiaan, kesetaraan,
pluralisme menjadi sirna begitu saja.
Antara Glam dan Kemanusiaan
Sepanjang pengetahuan saya, SID baik sebagai sebuah grup band maupun
individu-individunya adalah salah satu grup band yang cukup aktif dalam
melakukan kegiatan-kegiatan kemanusiaan, tentunya yang paling sering
adalah melakukan kampanye pluralisme, kemanusiaan dan juga lingkungan.
Tidak sebatas hanya datang dan bermain musik, bahkan terlibat langsung
dalam pengadaan kampanye termasuk memobilisasi resource untuk menggelar
kampanye musik.
Komitmen mereka atas kemanusiaan, pluralisme, lingkungan tergambar
pula secara kuat dalam lagu-lagu mereka. Dapat dicatat bahwa hampir
dalam setiap album yang dirilis oleh SID terdapat tema-tema lagu yang
mengedepankan persaudaraan, kesetaraan, pluralisme. Kita vs Mereka,
Marah Bumi, Citra O.D bahkan dalam album terbarunya terdapat pesan untuk
menjaga semangat keberagaman yang tercermin dalam lagu “Kuat Kita
Bersinar”.
Dalam setiap mereka penampilannya, tak henti-hentinya mengingatkan
penonton yang ada di depan mereka untuk menghargai setiap perbedaan.
Kadangkala oleh Bobby dengan mimik serius bak orator, atau kadang dengan
guyonan “jorok” ala Eka Rock yang mengundang tawa tapi sarat dengan
pesan indahnya keberagaman.
“Akh, itu hal yang biasa kali, namanya juga cari popularitas,” begitu
kira-kira pendapat yang muncul bila kita menelaah SID dan sisi
humanismenya. Namun pendapat itu menjadi keliru bila menyimak perjalanan
kreativitas para personel SID di kala mereka belum terkenal seperti
sekarang. Cukup susah mengatakan bahwa tema lagu mereka tentang
kemanusiaan, kesetaraan dan pluralisme, adalah sebatas lagu panggung.
Sebatas untaian kata yang hanya diteriakan di panggung-panggung lalu
hilang dan lepas tak bermakna di dalam kehidupan mereka di luar
panggung. Atau sangat berat rasanya mengatakan, bahwa pesan-pesan mereka
adalah pesan semu yang hanya untuk gagah-gagahan di atas panggung.
Lekat dalam ingatan saya bagaimana SID termasuk salah satu band
menyisihkan energinya untuk kegiatan-kegiatan jalanan terutama pada
tahun 1998 di mana euforia reformasi sedang masak-masaknya. Aksi massa
di kampus-kampus sedang marak, diskusi informal merebak tiap saat dan di
situlah beberapakali terlibat pula pemuda-pemuda ini.
Mereka bergabung dalam setiap aktivitas, mengeluarkan “merchandise”
dalam bentuk stiker-stiker. Bukan stiker gaul atau stiker yang beraroma
dunia glam tapi “merchandice” yang berbau kampanye gerakan. Tercatat
dalam ingatan saya, berbagai stiker sarkas dengan tulisan; “Sohardto
F**k”, atau maaf” Tutut Titit” yang sesuai kehendak zaman pada saat itu.
Mungkin seseuatu hal yang kecil, tetapi sarat akan makna kepedulian
mereka dengan kondisi sosial.
Di tengah lagu-lagu mereka yang sekilas terkesan mengumbar tema glam,
SID adalah salah satu band di Bali yang selalu siap tampil dalam
acara-acara charity untuk kemanusiaan. Mungkin puluhan kali bahkan
lebih, grup band ini terlibat secara aktif dalam pagelaran sosial tanpa
bayaran. Tercatat SID tampil dalam penggalangan dana untuk kemanusiaan
pada saat bencana tsunami Aceh dan bencana gempa Jogjakarta. Bukan hanya
sebatas tampil memikan musiknya, tapi juga peran Jerinx (drummer SID)
sebagai pengagas ide terutama dalam Pagelaran Kemanusiaan untuk bencana
gempa Jogjakarta.
Demikian pula dalam hal perjuangan atas pluralisme dan keberagaman,
SID adalah Band yang terlibat pula secara aktif dalam kampanye penolakan
RUU APP dari sejak dikumandangkan tahun 2006 sampai 2008. Tidak melulu
aksi panggung tapi pemuda-pemuda ini juga terlibat dalam aksi-aksi
jalanan. Menggarap roadshow musik untuk mengampanyekan, betapa
berbahanya RUU APP dalam ranah Bhinekka Tunggal Ika. Betapa RUU APP
mengancam sendi-sendi keberagaman dan berujung terancamnya nilai-nilai
dan hakikat kemanusiaan.
Tema lagu kemanusiaan termanifestasikan dalam bentuk praktik-praktik
SID. Nilai universal kemanusiaan, menjadi lakon yang tidak bisa
dinafikan begitu saja dari SID. Kita masih ingat bagaimana agresi USA
terhadap negara Irak? Di tengah kondisi sentimentil yang berkembang atas
dunia Islam, SID justru tampil dan keluar dari sentimentil itu.
Solidaritas kemanusiaan adalah universal dan menembus batas tanpa
memandang warna kulit, jenis kelamin, agama, suku, bangsa. Ini
terwujudkan dalam pagelaran musik bertajuk “Stop War”, sebuah pagelaran
musik untuk menentang agresi USA ke negara-negara Timur Tengah.
Apakah sebatas datang dan tampil dan menyanyi? Oh, tidak! SID hadir
dari menggagas ide, menyiapkan rencana kegiatan, mendesain propaganda
dan mengumpulkan band-band untuk tampil bahkan sampai teknis acara.
Itulah sekian banyak aktivitas dan praktek-praktek SID yang menunjukan
keselarasan antara tema lagu dengan praktik kehidupan nyata mereka.
Di tangan mereka, dunia “glam” menjadi tidak sebatas hura-hura dan
dentingan sulang gelas dan botol alkohol . Dunia “glam saat ini menjadi
dunia yang sarat dengan upaya penyadaran akan nilai-nilai kemanusiaan,
keberagaman, keseteraan dan perdamaian. Pesan-pesan yang secara
termaktub dalam lagu-lagu mereka, terpropagandakan dalam “orasi-orasi
panggung” dan mampu membangunkan kesadaran orang-orang akan arti penting
dari nilai-nilai itu. Minimal di tingkatan penggemar mereka a.k.a
outSIDers. Mampu meretas perbedaan sempit yang selama ini dikonstruksi
oleh negara atas sekat-sekat suku, agama, ras, jenis kelamin, kebangsaan
dll.
Lalu seberapa pentingkah ucapan penonton yang saya sampaikan di awal
tulisan ini? Buat saya pernyataan itu sangat istimewa. Inilah
pertamakalinya saya mendengar “pengakuan” atas aktivitas-aktivitas SID
yang sesungguhnya tidak pernah lepas dari dinamika sosial. Setidaknya
ada satu orang yang tersadarkan atas kampanye dan propaganda lagu SID
selama ini. Bahkan bisa saja mewakili puluhan, ratusan, bahkan ribuan
orang lainnya. Sehingga judge fatalis (rasis, anti sosial) terkubur
seiiring waktu.
Di tengah krisisnya bangsa ini akan penghargaan terhadap nilai-nilai
kemanusiaan, dengan bergelimang manusia-manusia berperilaku primitif dan
berpikiran sempit nan membosankan, SID tampil sebagai oase yang
memberikan secercah harapan. Semestinya orang-orang yang selalu
bertampilan necis, berjas rapi, mengaku orang terhormat merasa malu
karena justru pesan-pesan kemanusiaan, anti diskriminasi, kesetaraan
keluar dari mulut “berandal-berandal” ini.
Semoga tetep konsisten, mari ciptakan dunia baru tanpa diskriminasi.
SID “glam”mu kami tunggu seiiring dengan laju sepeda “lowrider” yang
mengilhami orang untuk mencintai lingkungan.
……Dan kau sahabatku, mari kita bersulang!
Jakarta, 14 Maret 2009
Sumber : balebengong.net