Dear brothers and sisters, lovers and haters, after
almost a few years I’ve never share my thoughts ‘bout my
oh-so-infamous band in this very website, now finally I came up w/ this.
Just like a loaded gun pointed at the dusty mirror.
Hate me or love me after you read this....go ahead, cool kats.
Here we go...
So ya,
weÂ’re from B.A.L.I -the ouf of reach- minority district, we [still]
dont wear trucker hats, got no ear plugs or lotsa piercings, got no
anorexic look or bergaya somehow ‘aneh dan gelap’ kalo di
foto....then, are we still masuk hitungan ‘cool’ in your today’s
so-called-exclusive music scene? Ummm, you decide. Yang pasti -memasuki
tahun yang ke sepuluh ini- kita masih TIDAK MAU brenti bermain dgn punk
rock 3 power chords, meracuni diri [bukan diracuni] dengan rockabilly,
bintang botol besar dingin, tempo drum yang kadang kecepetan, dan
berburu pakaian bekas di 2nd hand shop di Bali
Gak terlalu
banyak hal2 aneh yang bisa di expose tentang band saya, cos menurut saya
hal2 yang pernah kita lakukan as a band is biasa, wajar dan lurus aja.
Beberapa ‘scenester cerdas, tajam nan kritis’ yang mengharapkan bakal
mendengar cerita2 yang oh-sungguh-menakjubkan, or penuh sensasi, seperti
cerita band2 lain dari dunia sana, saya rasa bakalan kecewa membaca
tulisan ini. Ha! Like I care.
Kita gak punya misi besar agung super
mulia dalam bermusik, we dont wanna ‘save’ the ‘punkrock’ world.
Kita cuma ingin main musik dengan jujur, sampai tua dan having fun saat
melakukannya, syukur2 kalo sampai bisa hidup berkecukupan dari main
musik.
Dan saking senangnya main musik, waktu berlalu begitu
cepat dan tau2 kita udah seperti saat ini. Tapi, tanpa disengaja dan
direncanakan, seiring dgn makin besarnya kita di dunia industri, makin
banyak juga tanggung jawab yang tidak boleh dan tidak mau kita abaikan.
Contohnya, sekarang kita punya akses dan fasilitas buat bantu band2
lokal Bali,...ya kita bantu. Kita ngabisin sebagian besar uang royalty
dan duit manggung buat foya2, disisi gemerlap nan glamour like Puff
Daddy? Nope! Bobby Cool [yang sampai saat ini belum punya motor sendiri]
spend it buat bikin studio rekaman bertarif murah [tapi bukan murahan]
di rumahnya, khusus buat musisi2 yang bukan anak pengusaha tambun, yang
kuliah di luar negeri kalo lagi gak holiday di Dreamland.
Masih
tentang royalty, saya pakai [bahkan masih ngutang ampe skarang] buat
bikin bar kecil khusus buat band2 lokal manggung gratisan hampir tiap
hari. Totally free shows. Totally music and fun, no politics or shit
like that. Soundsystem juga memakai alat2nya Superman Is Dead. Gak mesti
band bagus, band kemarin sore juga boleh main, gak ada seleksi.
Sebagian
duit hasil setiap kali SID manggung, started from The Hangove Decade
album, kita sisihkan buat disumbangkan ke panti2 asuhan di Bali. Lalu
juga saya pakai bikin record label kecil yang, hopefuly, rilisan2
lokal-nya taun depan udah bisa kamu baca reviewnya di majalah2 [watch
out for The Dissland and The Brews, boys and girls!]. Untuk konser2 di
Bali kita juga sebisanya mengajak band2 lokal kesukaan kita main bareng,
dan dibayar, tentunya.
So ya, all coming back to where it belongs.
This is our principal: Superman Is Dead got all we have sekarang, ya
karena musik, dan hasilnya kita kembalikan lagi utk musik itu sendiri.
BUKAN untuk> sensasi, trend, fashion, hype, menjadi grouppie-fucker
or cuma buat jadi issue hangat kaum ‘underground’ semata. Kita TIDAK
berdiri sombong disana. Kita tidak mau terjebak dalam gaya hidup
rockstar tipikal.
Coba lihat kebelakang, semua alasan kenapa
kita sampai disini, hanya satu>OUR PASSION AND LOVE FOR MUSIC. That
simple. Jadinya ya kita gak bakal pernah mau kehilangan itu, mundur atau
menyerah bermusik hanya karena, misalnya, sebagian polisi punk
menganggap kita as the biggest treat to the ‘real scene’ karena kita
signed up w/ major label, or karena kita ditempeli label ‘glamour
punkÂ’ whatsoever, yang sama sekali bukan kita.
Are we criminals?
Emang kita pernah malak anak SMP di halte bus, membunuh atau minta2 uang
dari kamu buat beli bir atau beli Doc Marteens? Dont think so,
fella....so we dont owe you a flying fuck. Masuk major label = haram.
Whatabout membunuh ratusan innocent people dgn dalih agama. A hero?
Dont we have more important things to worry about in this fucked up country?
Kita
bicara masalah anti-major label, bla bla bla berbusa... tapi yang saya
lihat kenyataan yang terjadi disini adalah ‘majority’ menindas
‘minority’. Yap, we, Superman Is Daed, are and we will always be
minoritas di Indonesia yang katanya penduduknya beragama ini [thanx to
those fanatics].
No matter what you say, deep inside......perasaan
bahwa kita orang minoritas, selalu ada. All this questions. Apa sih yang
mereka tau tentang punkrock? Mereka kan dari Bali, pulau maksiat, the
kingdom of hedonism, land of the escapist, tanah tradisional nan kolot,
pulau tanpa MTV, dst dst.
Ha. Dan terus terang, kadang kita menikmati saat orang2 berpikir spt itu ttg kita.
So
many hakim dadakan yang beraninya cuma rame-rame. KayaÂ’ bebek. Tipikal
orang Indonesia banget. Let me say one thing to you, kalo kamu gak suka
sama kita, then get lost and get a fucking life! Do something yang
berguna untuk dirimu dan orang lain.
Tapi we believe waktu yang
membuktikan semuanya. Sepuluh tahun hampir berlalu dan kita merasa ini
hanyalah sebuah awal baru, untuk industri musik dan keterbukaan berpikir
anak muda kita.
Satu pertanyaan. Obviously, Superman Is Dead did something to the scene here, now what have you done to your scene?
The ‘real’ minority will rise, and nothing can stop us.
Nothing. Not the trend, politics, media, religion, race or money.
Are you ready?
Cheers, Cherry and Dynamite, jrx
`
Tidak ada komentar:
Posting Komentar