Di balik rambut- rambut yang menantang langit, di
balik dandanan yang urakan, mereka juga menyimpan sebuah kedamaian. Dan
yang lebih menarik lagi, Indonesia ternyata jadi bagian penting dari
komunitas punk.
Douglas Crawford, seorang sutradara film dari
Kanada mencoba menggambarkan kehidupan anak-anak punk dalam sebuah film
berjudul The Punks Are Allright. Film ini termasuk salah satu film yang
diputar di Jakarta International Film Festival (Jiffest) 2005. Jangan
berharap film ini menghamburkan cerita tentang punk dan konser-konser
musik.
Tapi kita akan banyak diberi
gambaran tentang kehidupan sosial, dan bagaimana anak-anak punk itu
berbaur dengan masyarakat lain. Yang bikin film ini makin menarik,
karena Indonesia jadi bagian penting dalam film ini.
Bisa nyambung
Pada
awalnya Douglas hanya ingin membuat film dokumenter tentang band punk
asal Kanada, Forgotten Rebels. Hingga dalam perjalanannya, Douglas
mendapatkan e-mail dari band asal Brasil, Blind Pigs. E-mail itu
bercerita betapa Blind Pigs sangat terinspirasi oleh Forgotten Rebels.
Itu yang kemudian membuat Douglas terbang ke Brasil, dan tinggal selama
dua bulan di sana untuk melanjutkan filmnya.
Di Brasil, Douglas
kembali menemukan sebuah kejutan. Itu pertama kalinya aku tahu ada punk
scene di Indonesia, Douglas mengungkapkan responsnya ketika front mant
Blind Pigs mengatakan bahwa mereka mendapat surat dari fans mereka di
Indonesia. Itulah yang membuat Douglas terbang ke Jakarta menemui Dolly,
yang berhubungan dengan Blind Pigs. Dolly, tidak bisa mendapatkan CD
Blind Pigs di Indonesia, dan meminta mereka untuk mengirimkannya lewat
internet.
Dengan girang Blind Pigs mengabulkan permintaan Dolly. Dan sebagai gantinya, Dolly mengirimkan badge bertuliskan Blind Pigs.
Punk & familyÂ
Film
The Punks Are Allright bukan hanya menggambarkan hubungan band dengan
fans. Douglas berusaha menggambarkan dengan jelas kondisi kehidupan
mereka yang ada di Kanada, Brasil, dan Indonesia. Di sini kita bisa
melihat banyak kesamaan antara Brasil dan Indonesia, negara yang
disebutnya sebagai negara dunia ketiga.
Tergambar di film ini,
lingkungan tempat tinggal Henrike dan Dolly, hanya berbeda di masalah
rapi dan bersih. Sebenarnya secara tingkat pendidikan dan lainnya tidak
jauh berbeda. Sempat juga terlihat remaja-remaja Brasil yang tidak
menguasai bahasa Inggris. Atau kalau acara TV kita sekarang ini dipenuhi
oleh berita-berita kriminal, di Brasil ternyata kondisinya juga cukup
mengerikan. Puluhan pembunuhan bisa terjadi setiap harinya. Cewek-cewek
di sana cantik-cantik, tapi mereka bisa jadi sangat berbahaya, ujar
Douglas bersungguh-sungguh.
Kesamaan lain antara dua negara ini
adalah perilaku sehari- hari. Di mana unsur religius dan keluarga sangat
berpengaruh. Bakalan lebih jelas sih kalau melihat filmnya, di mana
seorang anak muda dengan tato Born To Die sedang membantu orang- tuanya
di sawah. Sedangkan Henrike digambarkan tengah menghabiskan akhir pekan
bersama keluarganya.
Cocok di Indonesia
Gambaran
kekeluargaan yang ditampilkan Douglas di film itu mungkin bisa menepis
anggapan tentang anak-anak punk yang mengerikan dan dekat dengan hal-hal
negatif. Karena pada dasarnya pemikiran punk memang tidaklah
semengerikan itu. Intinya mereka hanya ingin hidup lebih bebas. Makanya
lirik- lirik lagu mereka menjadi lebih berani. Baik menyinggung masalah
politik maupun isu-isu sosial yang sedang terjadi. Sama seperti
pemikiran orang kebanyakan, punk juga berharap untuk mencapai hidup yang
lebih baik. Tentu saja dengan versi mereka sendiri, yang kadang identik
dengan pemberontakan.
Dan lirik-lirik dari tiga band punk itu
pun punya kesamaan. Yaitu bisa menyentuh dan memengaruhi hati banyak
orang. Bahkan menempuh jarak yang cukup jauh.
Menurut pendapat si
pembuat film ini, punk terlihat lebih cocok untuk Brasil dan Indonesia
ketimbang Kanada. Di Kanada, orang justru sudah terlalu acuh, dan asyik
dengan dunia masing-masing. Dan mungkin juga tingkat ekonomi yang lebih
baik, yang membuat punk tidak cocok dijalankan di sana.
Untuk
menggambarkan Indonesia, Douglas sempat mengikuti band Superman Is Dead
yang konser di Kalimantan. Dan membuatnya cukup terkejut saat melihat
sekitar 20.000 orang memadati stadion. Sampai akhirnya Douglas
berkesimpulan bahwa dari tiga band yang tampil di filmnya, justru band
Indonesia inilah yang paling besar.
Dari yang digambarkan di film
The Punks Are Allright, kita bisa melihat kalau punk bukanlah sekadar
segerombolan anak-anak badung yang enggak ada kerjaan. Sayangnya, kita
tidak hidup sendirian di dunia ini, dan tidak semua orang bisa menerima
gaya hidup punk. Sama seperti tidak semua orang tertawa saat melihat
Paul Anka serius menyanyikan Black Hole Sun-nya Soundgarden. Dan Tidak
semua orang muntah saat mendengarkan nomor berikutnya, It's a Sin!
Bahkan
di lingkungan anak-anak punk sendiri tidak semuanya identik, tetap ada
saja perbedaan. Tidak semua orang menjadi gagah dengan rambut mohawk dan
sepatu boot. Makanya tidak semua punk berambut mohawk dan bersepatu
boots.
Tidak semua anak punk berlaku liar, bahkan banyak di
antara mereka adalah pekerja keras. Kalau saja semua orang menjalani
hidup dengan benar, semua memang akan menjadi lebih baik. Dengan nada
pembelaan pada punk, drumer SID, Jerinx, mengatakan, If all the peoples
in the world are punk, world is gonna be allright. Mungkin tidak terlalu
benar, tapi tidak ada yang salah juga dengan kata-kata itu.
So, Lets do it then be a real punk!
Taken from : http://www.kompas.com/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar