Oleh : Gede Ari "Jerinx" Astina
Biasanya saya menulis sesuatu yang positif, at least from my point of
view, tapi kali ini i will let the devil in me speak. For once. This is
my thoughts about how rock & roll culture as a part of, like it or
not, plastic entertainment world should run in Indonesia. Dari masa ke
masa, eksistensi kultur ‘rock’ sebagai bagian dari subkultur di
Indonesia akhir-akhir ini bisa dikatakan makin kukuh berdiri- di area
abu-abu yang makin memutih. Ter-tib nan santun. Memang ada banyak band
‘rock’ berbakat bermunculan diikuti dengan prestasi yang hebat: dihargai
kritikus, dicintai fans dan didekati korporat yang siap mencetak wajah
mereka di bilboard terbesar di kota-kota terpencil. But I’m missing
something here. Sesuatu yang krusial, nilai terluhur dari sejarah rock
& roll. Where’s the ‘dangerous’ part? There’s a huge main reason why
rock & roll is associated as the devil’s music by the
conservatives: It was born to kick some ass and make some changes.
Saya bukan ahli sejarah/etnologi musik, tapi
sejauh yang saya pelajari di jalanan, correct me if I’m wrong; rock
& roll diciptakan kaum kulit hitam (Chuck Berry, Ray Charles) untuk
me-lawan perbudakan di tahun ‘30-an, lalu kaum kulit putih (Elvis, Jerry
Lee Lewis) memakai rock & roll untuk melawan rasialisme dan
kemunafikan di tahun ‘50-an. Berkembang terus untuk melawan perang di
tahun ‘60-an (The Beatles, Jimi Hendrix) dan melawan birokrasi dan darah
biru di tahun ‘70-an (The Clash, Sex Pistols).
Dan hampir semua pelaku rock & roll di era itu masuk dalam kategori
‘bermasalah’. Some were killed by psychotic fans, some killed themselves
and some died from the self-destructive way of living they chose.
Terlepas dari masalah moral dan benar tidaknya tindakan mereka, it’s
yours to judge. Namun secara global, sema-ngat dan kadar ’bahaya’ itu
makin lama makin luntur. Salahkan internet atau apapun, tapi di zaman
sekarang, esensi menjadi semakin tidak penting. Untuk alasan apapun,
saya lihat Indonesia makin hari makin dipenuhi rocker sopan yang selalu
dan mencoba berada di area aman, yang setiap inci gerakan dan
tindakannya harus sesuai dengan kesepakat-an moral ’masyarakat’-nya.
Saya sama sekali tidak ada masalah dengan etika ’kesopanan’ dan
’ketimur-an’ selama ia berada di ruang dan waktu yang tepat.
But come on, for Tarantino’s sake, this is rock & roll we’re talking
about! Entertain us with some real wild ride, please, on stage and off
stage! There’s no such thing as ’Inilah rock & roll Indonesia yang
sopan dan berbudi luhur’. Rock & roll adalah rock & roll, di
mana dan kapanpun ia berada. Kenapa? Sesederhana karena rock & roll
bukan hanya tentang mode dan strategi pemasaran. Ia bukanlah sebuah
label yang bisa kita pakai untuk kepentingan bisnis semata. Ia mewakili
sebuah semangat yang tak akan pernah mati untuk ‘menghajar’ sesuatu,
apapun itu. Betul, dunia ini akan terus ber-evolusi, but some things are
better real, and rock n roll is one of them.
Di Indonesia dan negara-negara lain hari ini, rock & roll menjadi
sebatas label untuk terlihat ‘keren’. Ia ada untuk tidak melawan
apa-apa, sebatas hiburan saja. Same shit with nationalism these days,
it’s all about how to look/sound ‘cool’ dan untuk meraih simpati massa.
Sensasi di atas esensi. Merasa bisa tapi tak bisa merasa. Big respect
buat Iwan Fals dan Slank yang masih berani melawan sesuatu melalui jalur
mainstream, dan bebe-rapa nama seperti Seringai, Efek Rumah Kaca dan
Shaggy Dog yang melawan sesuatu di jalur semi-mainstream. Devil blessed
them all. But still it’s not enough, di kala melihat TV atau majalah,
saya merindukan sosok yang memiliki persona liar yang sebenarnya.
Bukan cuma di panggung atau di iklan. Saya sudah bosan dengan
rocker-rocker sopan yang lebih memilih mengajak pacarnya berme-sraan di
TV ketimbang menonjok wartawan infotainment yang menginjak-injak wilayah
privasinya. Saya mengidamkan rocker jujur yang tanpa ragu sedetik pun
mengakui adiksinya terhadap alkohol, seks dan obat-obatan. Ingin rasanya
melihat sebuah band rock terlibat baku hantam dengan gerombolan radikal
garis keras di sebuah tempat hiburan malam yang berusaha mereka
hancurkan. Atau serunya membaca artikel tentang seorang rocker yang
mengencani para supermodel, mencuri kokainnya dan mencampakkan mereka
setelah menyadari bahwa dirinya seorang homoseksual. Saya memimpikan
Indonesia memiliki sesosok rocker (entah laki atau perempuan) yang
mempunyai sex appeal mahadahsyat yang membuat orang tua dan pacar kalian
menahan nafas. Mungkin sekilas semua terdengar dangkal dan sebatas
sensasi saja, but if you dig deeper, it’s all about statement.
Pernyataan bahwa rock & roll masih berbahaya. Rock & roll ada
untuk membuat kita khawatir. Dan dari kekhawatiran, kekacauan dan
kehancuran, kita bisa banyak belajar. So let them be wild, let them be
free. Saya membayangkan betapa hebatnya jika semua pelaku subkultur
Indonesia bersatu dan melawan kelompok fasis berjubah Tuhan dan
membungkam mulut kaum elit tentang esensi moral dan kemerdekaan. Again,
it’s all about statement. Berbahaya tidak harus selalu dikonotasikan
dengan kekerasan dan machismo. Ketegasan dalam mengambil sikap,
keberanian untuk membuat kesalahan, semangat untuk melawan arus dan
mempertanyakan nilai-nilai. That’s dangerous. And we all learned from
mistakes anyway. Apapun yang tidak membunuhmu akan membuatmu lebih kuat.
Atau dalam bahasa rock & roll, whatever that doesn’t change you
will make you stronger, either you’re dead or alive. Toh ke-salahan
suatu saat akan membuat seseorang menjadi tahu apa makna dari hidup yang
ia jalani. Jangan pernah takut untuk ‘dicap’ salah. Hidup ini bukan
hanya hitam putih karena Superman sudah mati pada hari dia dilahirkan.
Rocker dan pelaku subkultur lainnya, mereka adalah individu merdeka yang
tidak bisa hidup hanya dengan mengikuti aturan yang dibuat oleh
generasi sebelum atau sesudahnya. Kamu adalah generasimu sendiri. Make
your own rules-. Terjang semua tembok penjara dan jadilah legenda untuk
dirimu sendiri. Cheers!
Berita diambil dari :
http://www.rollingstone.co.id/read/2009/10/27/317/13/2/Let-The-Devil-Speak
Tidak ada komentar:
Posting Komentar